"Nanti secepatnya dibuat Perjanjian Kerja Sama antara Pemprov Babel dengan Direktorat Jenderal Tata Ruang dan Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN, untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh keseluruhan izin-izin usahanya apakah sesuai, dan apakah lahan tersebut existing atau tidak,"
Surya Tjandra
Wamen ATR/Waka BPN
JAKARTA - Menurut Wamen Surya Tjandra, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar, dan PP 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, lahan yang tidak dimanfaatkan (
existing), dimungkinkan untuk dicabut perizinannya, sehingga lahan lebih dapat dioptimalkan.
"Hasilnya akan kami laporkan ke Presiden, dan kalau perlu kita libatkan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Spil (PPPNS) untuk mencari datanya," jelasnya.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN) Surya Tjandra, memerintahkan jajarannya untuk segera me-
review semua perizinan, baik itu pertambangan hingga perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Hal itu dikatakannya secara tegas di Kantor Kementerian ATR/BPN, Kamis (18/11/21).
Setelah mendengar keluhan dari Gubernur Erzaldi Rosman, perihal isu permasalahan kepemilikan lahan di Babel yang semakin berlarut-larut, sehingga mengganggu iklim investasi di Bumi Serumpun Sebalai.
Mengganggu iklim investasi
Dalam kesempatan itu, Gubernur Erzaldi menjabarkan sejumlah permasalahan kepemilikan lahan, yang menyebabkan sulitnya para investor berinvestasi di Babel. Menurutnya, dimasa sekarang dengan adanya
OSS
online single submission yang merupakan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, menuntut kejelasan status lahan sebagai salah satu syarat dalam berinvestasi.
"Apabila yang tidak clear termasuk status lahannya, sistem tidak mau terima, bagaimana jalan keluarnya? Hal itu berakibat buruk pada investasi," ungkapnya.
Ia menyinggung IUP pertambangan milik PT Timah maupun perusahaan pertambangan lainnya di Babel seluas 379.770,15 Ha, yang mana semua lahannya tidak termasuk sedang proses produksi. Sementara, luas darat wilayah Babel hanya 1.642.406,00 Ha atau dibandingkan hanya 23,12 persen.
"Apakah dimungkinkan IUP produksi (eksploitasi) dengan kondisi existing dapat dimanfaatkan sebagai lahan produktif," tanyanya.
Ia juga menyinggung kejelasan bekas galian tambang yang tidak direklamasi, sehingga membentuk kolong, status kepemilikan lahan seperti apa. Karena saat pihaknya akan membuat program normalisasi saluran, dan termasuk didalamnya menata kolong-kolong tersebut, berhadapan dengan sertifikat.
"Sehingga perlu dikaji lagi kepemilikan lahan kolong (pasca tambang) seperti apa?," jelasnya.
Berkenaan dengan tata ruang yang merupakan kawasan pertambangan beralih fungsi menjadi kawasan pariwisata, seperti Danau Pading ataupun Kolong Biru sebagai desa wisata, gubernur meminta status lahannya juga perlu dirumuskan secepatnya.
"Harus dipikirkan status kepemilikan lahan menjadi milik siapa, karena selama ini masyarakat desa yang mengelola kawasan tersebut. Sungguh miris apabila sudah berkembang, mereka yang membangun, tetapi orang lain yang menikmati hasilnya," pungkasnya.
BS