Mudik Dan Cerita Di Baliknya
Mudik merupakan salah satu tradisi yang sudah ada di Indonesia sejak lama, tradisi mudik tentu saja erat kaitannya dengan dengan perayaan hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan hari besar keagamaan lainya. Kegiatan yang dilakukan setiap tahun ini selalu dinanti oleh para perantau dari berbagai daerah bahkan negara.
Namun untuk tahun 2021, pemerintah mengambil kebijakan untuk melarang mudik, dikarenakan penyebaran kasus Covid-19 yang dikhawatirkan akan semakin meluas dan memberikan dampak kesehatan yang kurang baik bagi masyarakat. Di tahun 2020 kemarin, banyak masyarakat yang memutuskan untuk tidak pulang kampung dikarenakan alasan yang sama. Kata mudik sangat tidak asing di telinga, bagaimana ceritanya?
Sejarah Mudik
Secara teori atau epistemologi mudik artinya pulang ke kampung halaman dalam kurun waktu tertentu untuk bertemu dengan keluarga. Istilah mudik ini bisa dikaitkan dengan istilah bahasa jawa ‘mulih disik’ yang berarti pulang dulu. Sedangkan dalam bahasa Betawi kata mudik berawal dari penyerderhanaan kata udik atau kampung. Pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, atau negara lain lalu pulang ke kampung halaman. Tapi taukah kamu tradisi mudik ini tak hanya ada di Indonesia, tradisi ini juga terdapat di negara lain, seperti India, Malaysia, Arab Saudi dan juga Tiongkok.
Sekitar tahun 1970an istilah mudik sudah mulai akrab, terutama di daerah Jawa, karena banyak sekali peratau dari daerah luar Jawa yang belajar atau bekerja sehingga diharuskan untuk menetap. Tak sedikit jumlah pemudik di pulau Jawa, khususnya perantau yang ada di DKI Jakarta. Hal ini terbukti dari betapa lengangnya jalanan ibu kota saat hari besar keagamaan karena rata-rata penduduknya menjadi pemudik.
Kenapa Mudik?
Secara spiritual, budaya pulang kampung ini pertama kali dimaknai dengan adanya ikatan batin dengan keluarga, terlebih jika terdapat keluarga yang sudah meninggal dunia, tradisi ‘ziarah makam’ menjadi salah satu alasan utama dan yang paling sering diungkapkan pemudik dan ini ternyata menjadi warisan budaya sejak dulu. Penghormatan kepada orang tua yang sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta dengan menghaturkan doa langsung di peristirahatan terakhirnya, menjadi sensasi spritual tersendiri yang tak dapat diperoleh dengan cara apapun kecuali hadir disana secara nyata. Keterikatan akan rasa, ingatan dan susana seolah menjadi alasan sempurna untuk menghaturkan sebaik-baiknya doa.
Dari sisi psikologis mudik lebaran menjadi hal yang dinanti-nanti bahkan sejak pertama hari puasa di mulai. Persiapan mudik pun tak main-main, perputaran ekonomi sangat tinggi pada musim ini. Panjangnya antrian mobil di pelabuhan, berjelal-jejalan di bus dan kereta, serta penuhnya bandara menjadi kisah unik pelangkap mudik tiap tahunnya. Dalam perjalanan mudik sudah terbayang, tenangnya kampung halaman, riangnya gelak tawa keluarga, suasana rumah orang tua, membuat kita menindukan hal-hal kecil yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahkan terkadang kita sudah membuat list jenis makanan yang akan kita santap saa tiba di rumah. Setelah berpuasa 30 hari, mudik dengan berbagai ceritanya, dan perayaan Lebaran seolah menjadi puncak euforia.
Idul Fitri tidak hanya tentang melepas rindu dengan keluarga tercinta. Namun juga menghilangkan rasa lelah setelah bekerja dan kepenatan kota. Ketika kita bersiap untuk kembali, terdapat rasa syukur yang luar biasa saat mengetahui ternyata kita masih dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Hal ini membuat kita lebih menghargai waktu dan kebersamaan dengan mereka. Pulang kampung seperti recharge energi yang terbuang, terisi dengan hal postif, dan rasa bahagia yang berlimpah. Perasaan inilah menjadi candu bagi setiap orang untuk kembali mudik dengan beragam tantangannya.
Larangan mudik di hari Raya Idul Fitri tahun ini, tentu saja akan menimbulkan banyak pendapat di masyarakat dan jika itu terjadi, semoga kali ini kita tetap dapat merayakan Idul Fitri dengan makna yang lebih berarti.
Penulis : Gusti Neka
Subscribe Kategori Ini