"Nak, hari ini kau memilih untuk pergi dan memilih jalanmu sendiri, tapi kami belumlah ikhlas melepas karena kau belumlah cerdas. Kau buah hati kami yang belumlah cakap diri. Hendaknya kalau kau takut dilambung ombak, janganlah berumah di tepi pantai. Kau masih anak kami yang acap ibarat jadi katak ditimpa kemarau. Kau adalah gambaran telur sesangkak, pecah sebiji pecah semua. Nak, bukan matimu yang akan kami sesali, tapi kapan matimu yang kami takuti"
Pesan itu dari secarik kertas warna putih bergaris ungu. Cukup lama ku pandang. Ku baca hingga tiga kali bahkan. Tulisannya terukir dengan tinta biru, itu buah goresan ibuku yang diam-diam ia selipkan di bagian dalam tas ransel bututku yang berwarna cokelat, yang sisi bawahnya sedikit menganga dimakan usia. Maklum kala itu mengirim pesan hanya bisa lewat surat.
"Pakailah selagi masih bisa, nanti kalau ada rejeki, kita beli," itu suara ayahku, jam 2 dinihari, sekitar lima jam sebelum kakiku melangkah meninggalkan semua kenangan di rumah.
Ia terbangun karena mendengar mesin jahitnya berdenyit ku kincang untuk menambal sobekan. Suara ayahku pelan dan nyaris datar tanpa emosi.
Dia tahu anak sulungnya beberapa jam lagi akan berpisah, mencari ilmu di negri orang dan berjanji tak akan pulang. Ayahku seakan sedang menguatkan bathin untuk tak merindu.
Kerasnya karakter ayahku yang ku kenal, dinihari itu seakan hilang entah ke mana. Seakan semua tetek bengek itu ia kubur dalam-dalam di suatu tempat. Ia seperti tak rela aku si anak sulungnya, pergi dengan masih menenteng keraguan akan ikhlasnya dia melepas anak manjanya yang bahkan menakar nasi saja tak bisa.
Sampai siang, tangan kiri masih memegang erat surat dari ibuku. Jemari tangan kananku memutar-mutar rokok kretek. Kemarin, aku masih menjadi manusia dengan pendirian yang kokoh. Aku harus pergi. Aku harus menantang segala akibat, agar kelak aku jadi laki-laki yang tak goncang dihantam badai.
Kemarin, hatiku masih sekeras karang. Aku harus pergi. Butiran air mata ibuku tak sanggup merubah keputusanku: Aku akan pergi! Bahkan tatapan tajam ayah, dan bunyi gemeretak gerahamnya tak membuat nyaliku ciut. Nafsuku lebih besar daripada empatiku. Aku harus pergi!
Tapi, usai membaca surat dari ibu, surat yang tulisannya singkat namun diisi dengan isyarat, penuh kekhawatiran, sesak dengan rasa keraguan, membuat hatiku tersasak dua. Seakan bagai peribahasa "orang baru kaya jangan dihutangi, orang lepas nikah jangan ditandangi". Seperti sia-sialah ketetapan dan kekuatan hatiku. Kenapa harus goyah saat labuh di depan mata?
Padahal kakiku sudah menginjak aspal dermaga. Jarakku dengan kapal tinggallah seratus meter. Cuma seratus meter, jarak yang memisahkan antara aku dan keikhlasan orang-orang yang mencintaiku. Tapi bagaikan seratus meter terpanjang yang pernah ku alami. Padahal aku cuma seseorang yang ingin hidupnya bagai ikan pulang ke lubuk. Aku sudah siap pergi bawa punggung pulang melintang kaki.
Tapi ku putuskan berhenti sejenak untuk melangkah. Ku tepikan tubuh ke pohon rindang. Ku tarik nafas panjang. Ku baca sekali lagi surat ibu. Kali ini ku baca dengan berusaha memahami lebih dalam makna goresan tinta itu. Baris terakhir telah selesai. Lalu ku pandangi tepian kapal, berusaha untuk menguatkan raga agar bisa menapak ke sana apapun caranya.
Satu jam aku nelangsa, berusaha mendamaikan raga dengan jiwa, bahwa memang hanya dia seorang yang paling memahami siapa aku, kecerobohanku, kebodohanku, kenaifanku. Lalu aku menggumam dalam hati, "Aku mengembalikan manikam ke dalam cembulnya".
Dan, setengah jam yang lalu, aku membuat keputusan. Keputusanku adalah...
Penulis: PAI
(Tulisan ini saya dedikasikan untuk orang-orang yang pernah salah mengambil keputusan namun percaya selalu ada maaf dari Tuhan)