Opinion


Kamis, 25 Maret 2021 10:22 WIB

Bray, Sudah Giliranmu Peduli Bangsa Ini

Oleh: Putra Mahendra

"Jangan bosan bicara tentang kebenaran, agar demokrasi tak berakhir dengan kesia-sian" 

(Najwa Shihab)

Sudahkah kamu memerdekakan demokrasimu hari ini, bray?

Sejak Indonesia mengusung lembaran baru berbangsa yang dinamakan era reformasi dan prosesnya sempat dirasakan generasi milenial ‘angkatan pertama’, maka sejak itu, sampai hari ini, setiap kali kita menyinggung soal demokrasi maka kita langsung dihadapkan kepada kenyataan bahwa kita telah diberi keleluasaan serta kebebasan untuk memilih nasib sendiri. 
Kita punya hak yang sangat dijaga undang-undang, sekaligus kita juga harus siap menyadari akan selalu ada perbedaan dalam berpendapat. Karena hak itu sudah dijamin Negara dengan kadar yang sama setiap warga Negara. Tak ada lagi paksaan untuk anda, tak berhak lagi anda untuk memaksa.

Dan jika di Indonesia masyarakatnya sudah lantang bicara soal demokrasi dan mengaplikasikannya dengan rasa tanggungjawab, kemudian bisa bebas bersuara kapan dan di mana saja dengan tetap menjaga norma hukum, adat dan kearifan, itu mengisyaratkan bahwa kita adalah rakyat yang istimewa. Setara. Dan peradabannya sudah tinggi.

Setiap kalimat demokrasi terucap, itu laksana lampu pijar terang yang menjadi modal penuntun supaya kita bisa memastikan hak kita tersalurkan, dengan tetap berada di jalur yang telah diamanatkan konstitusi. Karena demokrasi hakikatnya merupakan bentuk hak kesetaraan dalam mengambil keputusan yang bisa mengubah hidup. Walaupun, Indonesia sebetulnya agak sedikit 'terlambat panas' bergumul dalam asyiknya berdemokrasi. 

Percayalah bro, tidak mudah merawat demokrasi di tengah keberagaman yang majemuk. Tidak gampang. Pemimpin-pemimpin bangsa ini sudah dan akan terus menjaga itu. Walaupun kita tahu itu belum bisa seutuhnya. 
Bahkan, salah satu media ternama Amerika Serikat, The Economist, merilis sebuah survei Indeks Demokrasi Dunia tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Dan hasilnya dalam kacamata survei mereka, demokrasi Indonesia dianggap tak terlalu bagus.

Indonesia mendapat penilaian yang masih jauh dari harapan. Dari lima variabel penilaian seperti penilaian dari proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik dan kebebasan sipil, Negara kita ada di urutan 68 dan tergolong dalam kategori Negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76) (dikutip dari liputan6.com).

Namun yang menarik adalah, di bagian variable penilaian partisipasi politik, Negara kita mendapat nilai 6,67. Kedua tertinggi setelah variable keberfungsian pemerintah. 

Apa maknanya? Itu bisa dimaknai secara sederhana bahwa sebetulnya sebagian besar rakyat Indonesia telah memahami bahwa yang namanya demokrasi dan berpolitik adalah jalan yang seiring. Sudah gampang kok, sekarang. Demokrasi di Indonesia sudah dilindungi. 

Semua sekarang bisa dan boleh mengemukakan pendapat. Freedom of speec yang tetap harus segaris dengan UUD 1945 dan Pancasila. Namun tetap tak dibenarkan membuat dan menyebar berita palsu. Implikasi hukumnya jelas. Kita sepakat untuk itu.

Lalu, siapa saja sebetulnya yang berperan di geliat demokrasi bangsa ini? Apakah hanya generasi 'old school' saja? Generasi milenial ‘angkatan pertama’ atau cuma sebagian lapisan masyarakat saja yang sudah menikmati saripati demokrasi?

Ternyata tidak! 

Ada generasi lain yang perlahan tak lagi terlihat gugup dan gagap untuk turut serta masuk ke arena demokrasi untuk berpendapat. Generasi itu adalah yang kita sebut generasi terakhir milenial. Yang sekarang berkisar di umur 30an tahun ke bawah. 

Mari kita bedah bagaimana mereka mengambil sikap dalam berdemokrasi dan berpolitik.

Dunia dan teknologi yang begitu cepat berjalan, serta kebebasan berpendapat yang menjadi bagian dari demokrasi dimanfaatkan dengan sudah cukup baik oleh generasi milenial. Setidaknya itu gambaran yang terjadi beberapa tahun belakang bangsa ini. Dan itu keniscayaan.

Terlebih, generasi milenial yang di laman Wikipedia dianalogikan sebagai generasi 'Baby Boomers' dan 'Gen-Y' adalah generasi yang punya karakteristik berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi.

Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi (dikutip dari Wikipedia).

Milenial kini pelan-pelan sudah mau berbicara pilihan politik tanpa lagi malu-malu. Mereka kini tak lagi sungkan mengakui "Aku pilih dia" dengan disertai argumen-argumen kekinian, dengan bahasa "Ini kata gue". Walaupun bagi mereka itu tak lebih dari sebuah 'keseruan' maupun sekedar diksi untuk mencoba masuk ke arena seperti Pemilu 2019 kemarin.
Namun mereka belum sepenuhnya menyadari bahwa sebetulnya setiap pilihan yang mereka ungkapkan ke publik, sebenarnya itulah yang disebut namanya demokrasi. Setiap hari, setiap membaca berita, menonton televisi atau berselancar di sosial media mereka dihadapkan kepada suasana demokrasi. 

Sayangnya, sekedar tahu saja belumlah cukup bagi generasi milenial. Mereka harus lebih aware dengan apa yang disebut berdemokrasi. Mereka harus mampu mengejawantahkan dalam keseharian saat berhadapan dengan kehidupan bersosial termasuk jagad maya yang informasinya hilir-mudik silih-berganti, yang kalau sampai salah simak bisa jadi petaka. Dan terkadang tak jarang membuat mereka jadi bingung sendiri dihadapkan oleh konten-konten yang menjurus ke perpecahan bangsa. Kita harus bantu mereka.

Bagaimana caranya?

Di sini saya ingin mengajak kita bersama-sama memberikan pemahaman kepada generasi milenial apa itu demokrasi yang sesungguhnya dan apa implikasi kepada kelangsungan bernegara, termasuk bagaimana demokrasi kelak akan menentukan nasib mereka sendiri. Seperti kata salah seorang motivator, Arief Subagja, bahwa negeri ini bukan hanya butuh pemuda pencari solusi, tapi butuh banyak pemuda yang berani membawa perubahan. Dan perubahan yang dimaksud adalah membaca demokrasi dengan kacamata kebangsaan. Kepedulian dan berani bersuara!

Karena generasi milenial punya sisi positif yang sayang jika tak digali. Generasi ini punya pribadi yang pikirannya terbuka, pendukung kesetaraan hak, punya rasa percaya diri yang bagus, mampu mengekspresikan perasaannya, optimis dan menerima ide-ide dan cara-cara hidup. Dan saya yakin, tak rumit untuk mengajak milenial peduli dengan demokrasi dan politik.

Yang tak kalah penting, generasi milenial membutuhkan pemahaman kala dihadapkan dengan perbedaan pendapat dengan orang lain, atau bahkan bagaimana mereka mempersiapkan diri alih-alih argumen mereka dipatahkan. Bagaimana mereka menyikapi perbedaan. Namun yang jelas bagaimana cara milenial menyikapi perbedaan tersebut, kita harus menyadari itu adalah cerminan bagaimana generasi sebelumnya menanamkan dogma.

Generasi milenial harus betul-betul mahfum bahwa berbeda pilihan merupakan konsekuensi berdemokrasi. Yakinkan mereka bahwa berbeda itu indah. Dan berbeda bukan untuk dibeda-bedakan.
Banyak cara sebetulnya menuju ke arah situ.

Seperti bagaimana usaha dari KPU Bangka Belitung untuk mengikat minat dan perhatian generasi milenial serta pemilih pemula. Karena KPU sadar, bahwa sosialisasi yang baik dan benar dengan cara yang tepat akan menghasilkan output yang diinginkan. Yaitu 
bertambahnya kepedulian generasi milenial terhadap demokrasi sehingga mereka mampu memandang hal tersebut dari kacamata yang positif. Tak lagi ogah-ogahan.

KPU Babel berusaha menggelar berbagai kegiatan sosialisasi yang menyasar generasi milenial. Seperti konser musik, festival band dan kegiatan positif lainnya.

Tak lain, itu sebagai salah satu dari sekian banyak usaha untuk memberikan pemahaman apa itu arti demokrasi kepada generasi milenial. Mereka sudah bekerja keras memastikan hak-hak berpolitik warga Negara Indonesia tersalurkan dan terpenuhinya hak memilih dan dipilih tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan adat. Pun begitu dengan generasi milenial. Justru porsi kepada generasi ini sengaja dilebihkan. Oleh KPU potongan kue-nya lebih besar.

Hasilnya juga lumayan. Setidaknya ratusan anak muda di Kota Pangkalpinang hadir dan mendengar langsung sosialisasi bahwa di tangan merekalah sejarah akan tertulis sebagai pelaku di pesta demokrasi terbesar dalam sejarah bangsa ini berdiri. Dan mereka dibuat bangga.

Bagaimana dengan kita? Apa yang bisa kita lakukan?

Tak ada salahnya kita mencoba membantu bangsa ini dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan cara; bicara. Kita harus mampu menjadi agen demokrasi dengan memberikan pemahaman bahwa demokrasi itu bukan sebuah penyakit yang mesti dimati. Demokrasi harus dipahami sebagai sebuah suasana suka cita.

Saya ingin mengutip sebuah data yang cukup menarik yang dirilis salah satu lembaga jurnalis global, Orb Media Network. Dari analisis Orb Media terhadap survei kepada 979 ribu orang di 128 Negara yang dilakukan mulai 1980-2018, ditemukan bahwa anak-anak muda yang peduli pada pemerintahan malah menolak terlibat dalam politik praktis. Bahkan untuk memberikan suara pun mereka enggan (sumber, tempo.co).

Di sinilah tanggungjawab kita. Kita harus mampu meyakinkan mereka bahwa demokrasi tak melulu soal menang dan kalah. Demokrasi adalah memastikan semuanya berjalan baik-baik saja. Dan memberikan pemahaman bahwa suara mereka, pilihan mereka, pasti berpengaruh bagi kelangsungan bernegara dan iklim demokrasi di Indonesia 10 atau 20 tahun ke depan. Toh kelak merekalah yang bakal menikmati.

Beruntungnya kita, informasi yang bergulir sedemikian cepat suka atau tidak suka, telah mendewasakan pola pemahaman generasi milenial bahwa Negara sedang butuh suara nyaring mereka untuk turut berandil memperdulikan bangsa.

Kita lihat bagaimana semua pihak dari berbagai lini selalu ‘memanjakan' generasi milenial, bagaimana sebetulnya kehadiran mereka diperebutkan, bagaimana mereka kerap dielukan sebagai generasi penerus tongkat estafet. Bagaimana mereka diperlakukan bak harta karun yang dinanti untuk dikuliti.

Memperebutkan suara milenial terutama bagi pelaku politik agak gampang-gampang susah. 
Terkadang pelaku politik membutuhkan tenaga ekstra untuk meyakinkan generasi milenial supaya lebih peduli dengan dunia politik. Padahal, generasi ini lahir di saat republik ini melahirkan demokrasi yang sesungguhnya. Generasi ini tumbuh bersama demokrasi. 

Dibesarkan oleh demokrasi. Bukankah milenial istimewa? Sah-sah saja kenapa generasi milenial paling layak direbut hatinya. Karena mereka memang seksi.
Ya. Generasi milenial paham akan hal itu. Itulah alasannya mereka kini tak lagi malu-malu untuk turut bergembira menyikapi demokrasi di Negara ini.

Karena kini, di mata mereka berdemokrasi layaknya sebuah panggung baru untuk menunjukkan bahwa mereka ada bersama lapisan masyarakat yang lain, mereka ingin mengatakan "Kami sudah dewasa. Kami bisa berbuat. Dan kami berhak bersuara!".

Dengan perlahan serta kesabaran, dogma selama ini bahwa suara mereka tak didengar akan terkikis dengan sendirinya seiring waktu. Memang, semua butuh waktu. Bersabarlah. Seperti kata seorang penulis sekaligus public speaker, Simon Sinek, bahwa sesuatu yang besar tidak datang dengan mudah. Maka bersabarlah.

Kita lihat saja dari sebuah hasil survei Pusat Peneliti Politik LIPI. Mereka menyatakan berdasarkan hasil survei lembaganya, ada sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019 didominasi generasi milenial. Survei itu mereka release pada akhir tahun 2018.
"Atau jumlahnya sekitar 80 juta dari 185 juta pemilih," kata Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI Sarah Nuraini Siregar, di Jakarta (dikutip dari tirto.id).

Hasil survei tersebut mempertebal keyakinan kita bahwa, saat ini generasi milenial khususnya yang berumur di bawah 30 tahun menilai demokrasi sudah menjadi keniscayaan dan bahkan telah menjadi jati diri dari kacamata mereka. Menurut Lembaga LIPI jumlah generasi milenial yang tidak sedikit itu menjadi modal penting untuk para politikus dalam Pemilu 2019. Kecenderungan pemilih milenial mereka bersifat rasional dan secara sadar mau berpartisipasi, terutama dalam Pemilu 2019. Kini mereka telah turut bergembira melibatkan diri menyambut pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah bangsa ini. Ya, milenial sekarang sudah siap.

Kelak, suatu hari, tidak lama lagi mereka akan saling mengingatkan satu sama lain, "Bray, mari kita mulai peduli dengan bangsa ini!." Sehingga esoknya demokrasi menjadi sebuah wajah kedewasaan bangsa ini. Amin! (*)

(Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku Kumpulan Opini Demokrasi di Mata Milenial Polda Bangka Belitung, tahun 2019).

#Berita
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur